Semua berawal dari Excel
Saya memulai dengan pola kerja yang sangat umum: Excel + intuisi.
Database pengunjung kafe saya dikumpulkan manual, sebagian dari kasir, sebagian dari form sederhana. Ketika beralih ke Manaya, data kunjungan mulai terekam lebih rapi. Saya sambungkan ke Google Looker Studio supaya bisa melihat pola harian: jam ramai, menu favorit, asal trafik.
Iklan pun masih “data-driven” versi basic: lihat angka minggu lalu → buat materi iklan → jalankan. Naik satu tingkat, saya pasang pixel supaya klik dan kunjungan bisa ditelusuri. Tetap saja, proses kreatif dan keputusan strategi masih berat di pundak manusia—lambat, repetitif, dan sering telat merespons momentum.
Dari kejar keyword ke penuhi kebutuhan user
Saya menjalankan pemasaran kafe sekaligus mengelola 24 website klien sendirian. Hampir semua pekerjaan dilakukan manual: spreadsheet untuk kalender konten, tracking sederhana untuk performa artikel dan iklan, rekap budget, sampai balas komentar.
Riset keyword saya bertumpu pada Ubersuggest dan catatan pribadi. Daftar ide, keyword volume, dan kompetitor saya simpan di Excel. Setiap minggu saya menyusun 10–20 judul, menulis brief, memantau indexing, dan memperbaiki internal link—sendirian.
Jam kerja sering molor. Sering begadang sampai jam 2 pagi:
- Menyusun kalender editorial 24 situs.
- Memindahkan data performa dari berbagai sumber ke Excel.
- Membuat laporan untuk tiap klien, satu per satu, dengan format yang mereka minta.
- Mengulang pekerjaan yang sama karena naming campaign dan UTM tidak konsisten.
- Menutup hari dengan backlog yang tetap panjang.
Semua berubah ketika ChatGPT hadir. Jujur, saya skeptis di awal—takut jawabannya generik dan tidak nyambung dengan konteks kerja saya. Tapi setelah beberapa percobaan, saya melihat pola: ChatGPT bisa membaca arahan sederhana lalu mengembalikan penjelasan yang rapi dan masuk akal.
Saya mulai dari Search Console. Saya minta ChatGPT membantu membaca data: apa yang naik, apa yang turun, dan mana yang patut diprioritaskan. Dalam hitungan menit, hal-hal yang biasanya saya bolak-balik di spreadsheet langsung disusun jadi poin-poin yang logis dan mudah dieksekusi.
Berikutnya saya masukkan data pixel. Biasanya bagian ini bikin pusing karena banyak angka berserakan. ChatGPT merangkum intinya saja—membantu saya melihat arah tanpa harus menatap angka terlalu lama. Rasanya seperti ada asisten yang menerjemahkan angka jadi kalimat yang bisa saya pakai.
Terakhir, saya bawa data Instagram dan data Manaya.id. Saya minta ringkasan pola yang terlihat dan apa implikasinya untuk langkah berikutnya. Sekejap bisa dijelaskan logis sama ChatGPT—cukup jelas untuk dipahami, cukup ringkas untuk langsung dipakai kerja.
Titik baliknya dua: AI dan cara pandang baru.
- AI sebagai kompas, bukan sekadar mesin ngetik.
Saya berhenti melihat AI sebagai alat pembuat teks. Saya memperlakukannya sebagai partner berpikir: tempat saya menguji hipotesis, memetakan persona, menyusun rencana eksperimen, sampai merangkum insight Looker ke rekomendasi konkret. - Dari keyword-first → user-need-first.
Dulu saya mengejar kata kunci. Sekarang saya mengejar niat dan konteks: “Masalah apa yang ingin diselesaikan pengunjung?” “Mengapa mereka datang di jam itu?” “Informasi apa yang mereka butuhkan untuk memutuskan pesan, reservasi, atau datang langsung?” - Dari data historis → sistem pengambilan keputusan.
Manaya + Looker tetap jadi tulang punggung data. Bedanya, AI membantu saya menerjemahkan angka menjadi actionable plan: siapa yang disasar, pesan apa yang relevan, medium mana yang paling cocok minggu ini.
Hal-hal praktis yang saya lakukan
Saya menata Maxcreative mulai dari fondasinya: alur kerja yang jelas brief → prompt → produksi → QA → publish → ukur. Saya buat SOP singkat untuk tiap tahap, template brief agar semua proyek seragam, serta standar penamaan kampanye dan UTM supaya laporan otomatis rapi. Di awal onboarding, klien langsung melalui checklist akses (akun iklan, Search Console/Analytics, pixel, domain, media sosial) sehingga tidak ada bolak-balik minta izin di tengah jalan.
Di sisi kreatif, saya menyusun prompt library yang terstruktur: riset & persona, ide kampanye, copy iklan, outline konten, dan rangkuman laporan. Setiap prompt punya tujuan, batasan, dan format output agar konsisten dengan gaya brand klien. Dari sini lahir calendar produksi yang realistis: slot untuk eksplorasi ide, slot untuk eksekusi, dan slot untuk eksperimen. Beberapa proses saya otomasi ke papan tugas, kalender, dan dokumen kerja, jadi tim tidak lagi mulai dari layar kosong.
Untuk menjaga kualitas, saya buat checkpoint QA: cek janji klaim vs bukti, cek visual vs copy, cek UTM/pixel, serta cek “jawab kebutuhan user” (bukan sekadar jualan). Single source of truth untuk aset dan copy memastikan versi terbaru selalu jelas. Eksperimen saya kelola dalam backlog dengan penilaian sederhana (impact, confidence, effort) supaya yang dikerjakan memang yang paling berpengaruh.
Dengan fondasi itu, beberapa project besar bisa dijalankan lebih maksimal: peluncuran ulang jaringan situs dengan struktur konten baru, kampanye musim liburan yang menyatukan iklan, konten, dan CRM dalam satu narasi, serta inisiatif performance yang menghubungkan traffic sosial ke kanal penjualan dengan pelacakan konversi yang utuh. Ada juga proyek migrasi SEO multi-domain yang sebelumnya rawan berantakan; kini berjalan lebih terarah karena semua keputusan kreatif dan teknis kembali pada data, prompt yang presisi, dan ritme eksekusi yang konsisten.
Saya ubah cara kerja menjadi pipeline yang konsisten—singkat, bisa diulang, dan mudah diaudit.
Rancang ulang fondasi data & tracking
- Event & pixel yang relevan untuk kafe:
ViewMenu
,GetDirections
,WhatsAppClick
,ReserveTable
,OrderLinkClick
. - Standarisasi UTM (utm_source, utm_medium, utm_campaign, utm_content) supaya Looker bisa mengelompokkan kampanye tanpa ruwet.
- Cohort sederhana di Looker: pengunjung baru vs. kembali, weekday vs. weekend, keluarga vs. pasangan (dari pola jam & menu).
Bangun Prompt Library (hidup & bertumbuh)
Saya kelompokkan prompt ke 5 rak utama, agar tim tinggal pakai dan improvisasi seperlunya:
- Insight & Persona
“Analisis pola kunjungan berikut (ringkasan Looker). Turunkan 3 persona utama, kebutuhan mereka, dan momen kunjungan paling mungkin. Output: tabel persona + pain/gain + pesan inti.” - Konten & Copy
“Buat 20 varian hook Reels untuk persona [X], fokus ‘kebutuhan user’, bukan jualan. Sertakan CTA yang mendorong aksi terdekat (DM/WA/Reservasi).” - Iklan & Eksperimen
“Dengan data CTR/CPC minggu ini, usulkan 5 eksperimen A/B: angle, visual, CTA. Prioritaskan eksperimen yang berpotensi turunkan CPC ≥15%.” - SEO Berbasis Niat
“Dari 10 topik ini, peta niat user (informational/consideration/transactional), bikin outline artikel yang menjawab kebutuhan mereka, bukan sekadar keyword.” - Laporan & Tindak Lanjut
“Ringkas performa minggu ini (Looker snapshot): highlight anomali, 3 kemenangan terbesar, 3 masalah terbesar, dan rencana 7 hari.”
Operasionalkan AI dalam ritme mingguan
- Senin: AI merangkum insight Looker → saya tetapkan hipotesis & prioritas eksperimen (bukan daftar kerja acak).
- Selasa–Rabu: AI menghasilkan varian kreatif (copy, angle, hook). Editor menyaring, desainer mengeksekusi 3–5 aset terbaik.
- Kamis: Jalankan A/B untuk paid & organik (Reels/YT Shorts).
- Jumat: AI menyiapkan laporan ringkas + rekomendasi perbaikan.
- Sabtu–Minggu: Optimasi ringan + kumpulkan first-party signal (DM/WhatsApp/ulasan).
Perubahan kecil yang berdampak besar
- FAQ dinamis (untuk DM/WA): AI menyiapkan jawaban yang konsisten untuk pertanyaan berulang—jam buka, kapasitas ruang, arah lokasi, harga paket.
- Konten “jawab kebutuhan”: bukan “datang ke kafe kami”, melainkan “butuh tempat aman buat anak berlari?”, “mau ketemuan santai di jam X?”, “cari spot sunset sebelum pulang?”.
- Editorial calendar berbasis pola kunjungan: konten keluarga menguat di pagi–siang, konten couples & sunset di sore.
Dari operator jadi arsitek
Perubahan paling terasa bukan hanya di angka, tapi di ketenangan bekerja—ritme lebih jelas, keputusan lebih tajam.
Dampak ke metrik (indikator yang saya lihat membaik):
- Waktu produksi konten dari ide→tayang turun drastis (tim fokus kurasi, bukan mulai dari nol).
- Relevansi iklan membaik: CTR naik, CPC lebih stabil, bounce dari landing yang tidak relevan menurun.
- Arah konten lebih tepat: DM/WA yang masuk semakin spesifik (bukan sekadar “buka jam berapa?”, tapi “ruang meeting untuk 12 orang hari Jumat masih ada?”).
- Retensi & repeat visit bertambah karena pesan follow-up lebih personal (berdasarkan momen kunjungan & minat).
Dampak ke tim:
- Peran bergeser dari “tukang eksekusi” menjadi kurator & pengarah.
- Prompt Library membuat standar kerja konsisten; anggota baru bisa onboard cepat.
- Keputusan tidak berdebat di opini; selalu kembali ke hipotesis + data + hasil eksperimen.
Pelajaran terpenting:
- AI memberi arah, tapi data first-party (Manaya + Looker) adalah bahan bakarnya.
- Prompt bagus = brief bagus. Tanpa konteks & tujuan jelas, AI hanya memproduksi teks yang rapi tapi kosong makna.
- Fokus pada kebutuhan user, bukan pada kata kunci atau tren semata. Ketika user merasa “kebutuhanku dipahami”, metrik ikut bergerak.
Semua Berubah Karna AI
Excel mengajarkan saya menghargai data. Pixel mengajarkan saya menelusuri perilaku. AI mengajarkan saya bertanya lebih baik.
Perjalanan dari Excel ke Prompt Library bukan tentang meninggalkan yang lama, tapi menaikkan kelas cara mengambil keputusan: dari mencatat masa lalu, menjadi mengarahkan masa depan.