Bisnis F&B

Antara Tambah Fasilitas atau Genjot Promo & Diskon — Dilema Bisnis F&B

Sejak 2017 saya menjalankan kafe kecil di dekat Candi Borobudur. Di tengah jalan, saya sempat kembali kerja kantoran sebagai Marketing Manager di Gojek—bukan karena rindu kantor, tapi untuk membereskan cicilan. Setelah itu saya fokus lagi membangun kafe. Lalu pandemi datang dan pola tamu berubah. Saya belajar bahwa orang datang bukan hanya untuk makan, tapi juga mencari ketenangan dan kemudahan: tempat yang nyaman, aktivitas untuk anak, ruang kerja sebentar, sudut foto, parkir yang jelas—singkatnya, hal-hal di luar piring. Promosi dan diskon memang bisa menarik perhatian, tapi bukan inti. Dari pengalaman saya, fasilitas adalah mesin retensi; promosi hanyalah pengeras suara. Jadi arahnya sederhana: kuatkan fasilitas dulu, lalu suarakan dengan promo di Bisnis F&B.

Di artikel ini, saya mengubah cara memandang dilema “fasilitas vs promo” menjadi kerangka keputusan yang lebih rapi dan bisa dipakai harian.


Ubah Cara Pikir: Produk = Makanan + Pengalaman

Kerangka sederhananya:

  • Atensi vs Retensi
    Promo “menyewa atensi” (sementara). Fasilitas “membangun alasan kembali” (berulang).
  • Aset vs Beban
    Fasilitas = aset yang menghasilkan lalu lintas dan tiket rata-rata lebih tinggi. Promo = biaya yang harus terus diulang agar efeknya terasa.
  • Loop Pertumbuhan
    Fasilitas yang tepat (misalnya playground) menciptakan growth loop: keluarga datang → anak betah → lama tinggal → belanja bertambah → review & cerita ke teman → kunjungan berulang tanpa biaya akuisisi tambahan.

Konklusinya bukan “promosi itu jelek”—bukan. Promosi adalah penguat. Tapi yang dikuatkan harus sesuatu yang memang pantas dikuatkan: pengalaman.


“Job To Be Done” Pengunjung: Mereka Datang Untuk Apa?

Sejak pascapandemi, tamu datang bukan cuma untuk makan. “Pekerjaan” yang ingin mereka selesaikan:

  1. Keluarga: anak bisa bermain aman, orang tua bisa ngobrol/kerja sebentar.
  2. Rombongan/Komunitas: tempat kumpul, foto, dan logistik (parkir, toilet, mushola).
  3. Pekerja Remote/Meeting Singkat: Wi-Fi stabil, colokan, kursi nyaman, private room.
  4. Wisatawan Borobudur: transisi dari sunrise tour → sarapan → istirahat → lanjut jalan.

Kalau kafe saya bisa “menyelesaikan pekerjaan” di atas, tamu punya alasan kuat untuk memilih saya tanpa harus menunggu diskon.


Studi Kasus Nyata: Playground Kecil, Dampak Besar

Saya dulu ragu. Tapi begitu playground jadi, polanya terlihat:

  • Durasi tinggal naik → pesanan bertambah (second order, dessert, minuman).
  • Weekday ikut terisi (karena ibu-ibu arisan/keluarga lokal cari tempat anak bisa main).
  • Cerita organik: orang tua share foto/video anak → word of mouth gratis.

Sedikit “matematika warung” agar keputusan tidak pakai rasa saja:

  • CAPEX (biaya awal) playground: ± Rp45.000.000 (modul, lantai busa, pagar, signage).
  • OPEX (perawatan) per bulan: ± Rp500.000.
  • Tambahan 60 keluarga/bulan (rata-rata 15/minggu).
  • Rata-rata belanja/keluarga: Rp120.000 → omzet tambahan ± Rp7.200.000/bulan.
  • Asumsikan margin kotor 60% → ± Rp4.320.000/bulan.

Payback (kembali modal atas margin kotor):
Rp45.000.000 ÷ Rp4.320.000 ≈ 10,4 bulan.
Setelah itu, playground menjadi mesin retensi yang nyaris membiayai dirinya sendiri.

Angka bisa berbeda di tiap kafe. Silakan ganti asumsi dengan data Anda. Prinsipnya: fasilitas yang pas menciptakan arus kas yang lebih stabil dibanding “spike” sesaat dari promo.


Peran Promo yang Tepat: Amplifier, Bukan Tongkat Ajaib

Saya selalu menganggap promo itu seperti pengeras suara di pasar—fungsinya memperjelas apa yang sudah bagus, bukan menutupi yang kurang. Itu juga yang saya rasakan waktu pertama kali membuka area bermain kecil di kafe saya dekat Borobudur. Saya tidak langsung tebar diskon ke mana-mana. Saya bikin satu akhir pekan bertema, “Minggu Playground—masuk gratis, beli 2 minuman dapat 1 snack anak.” Tujuannya sederhana: bikin orang tahu dulu bahwa sekarang anak bisa main aman, orang tua bisa duduk tenang. Hari itu kafe penuh, tapi yang lebih penting, foto-foto playground tersebar sendiri di WhatsApp grup keluarga. Promo cuma jadi pemicu, bahan obrolannya tetap fasilitasnya.

Setelah euforia akhir pekan, saya kembali menghadapi pola lama: Senin sampai Kamis siang masih longgar. Di sini promo bukan soal potong harga, tapi soal waktu. Saya pasang penawaran yang spesifik jam, “Sen–Kam 13.00–16.00, free coloring kit di playground.” Hasilnya tidak meledak seperti Minggu Playground, tapi kursi yang tadinya kosong mulai terisi oleh ibu-ibu arisan dan keluarga muda yang sengaja mengatur jadwal datang. Promo bukan menyelamatkan omzet harian, melainkan mengisi celah kapasitas yang selama ini saya biarkan kosong.

Lalu saya belajar menahan diri untuk tidak “menembak semua orang.” Saya pilih komunitas yang cocok dengan cerita kafe: keluarga lokal, rombongan sekolah, dan kelompok arisan. Untuk sekolah, saya tawarkan jadwal pagi setelah mereka tur edukasi—sarapan ringkas, playground, dan tur singkat kebun kecil kami. Untuk arisan, saya susun paket minuman dan snack yang mudah dibagi, plus spot foto yang rapi. Saat saya bicara pada segmen yang tepat, biaya promosinya turun, responsnya naik. Tidak ada drama, hanya logika: penawaran harus nyambung dengan kebutuhan mereka.

Yang paling sulit justru melawan godaan diskon generik. Diskon 20% itu seperti gula: cepat manis, cepat hilang. Saya pernah coba di awal—kursi ramai, tapi tak ada yang diingat selain angkanya. Sejak itu saya ganti pendekatan: setiap penawaran harus bercerita tentang pengalaman. “Playground baru, anak betah main—orang tua bisa ngobrol santai.” “Meeting room kecil yang tenang, ada colokan dan Wi-Fi stabil.” “View perbukitan setelah sunrise dari Borobudur, sarapan siap dalam 10 menit.” Ketika promo membawa orang mencoba pengalaman tertentu, mereka pulang dengan cerita, bukan sekadar struk lebih pendek.

Pelan-pelan saya melihat polanya: launching fasilitas butuh promo untuk menyalakan perhatian; hari lengang butuh promo berbasis jam untuk merapikan arus tamu; komunitas yang pas butuh penawaran yang terasa seperti “disiapkan khusus”; dan diskon tanpa konteks… sebaiknya tidak usah. Pada akhirnya, promo itu amplifier. Kalau yang diperkuat adalah pengalaman yang relevan, kafe tumbuh sehat. Kalau yang diperkuat hanya harga, kita akan sibuk menambah volume tanpa pernah memperbaiki lagu.

Kapan promo/diskon masuk akal?

  • Launching/Relauching Fasilitas
    Contoh: “Minggu Playground — masuk gratis, beli 2 minuman dapat 1 snack anak.” Tujuannya awareness awal.
  • Isi Celah Kapasitas
    Weekday siang lengang? Beri insentif waktu (time-based): “Sen–Kam 13.00–16.00, free coloring kit di playground.”
  • Segmentasi Spesifik, Bukan Semuanya
    Beri penawaran untuk komunitas yang fit (keluarga lokal, rombongan sekolah, arisan).
  • Bukan Diskon Tanpa Cerita
    Diskon 20% tanpa konteks cepat habis efeknya. Diskon yang menceritakan fasilitas (playground, meeting room, view) membangun kebiasaan datang karena pengalaman, bukan harga.

Quick Math Promo (cara aman)

Sebelum jalan, hitung break-even:

  • Tambahan GM (gross margin) dari transaksi promo – biaya diskonbiaya iklan harus > 0.
  • Batasi periode & kuota. Uji kecil, iterasi, lalu perbesar.

Kerangka Keputusan 5 Langkah (Praktis)

  1. Audit “pekerjaan” tamu di kafe Anda saat ini
    (keluarga, komunitas, pekerja remote, wisatawan).
  2. Petakan hambatan terbesar untuk mereka
    (anak bosan? meeting room kurang privat? tidak ada tempat istirahat cepat habis sunrise?).
  3. Pilih 1 fasilitas pengungkit yang menyentuh 2–3 segmen sekaligus
    (contoh di Borobudur: playground kecil + paket sarapan cepat + kamar mandi bersih).
  4. Bangun loop retensi
    • signage jelas, area foto, SOP kebersihan, kebijakan safety anak.
    • mekanisme komunitas (stempel/loyalty, kalender event keluarga).
  5. Rancang promo sebagai amplifier
    • “Beri alasan datang sekarang untuk mencoba fasilitas.”
    • Kampanye singkat, target spesifik, ukur, ulangi.

Matriks: Pilih Fasilitas atau Promo?

Kondisi BisnisFokus UtamaCatatan Eksekusi
Kapasitas weekday kosong, weekend penuhFasilitas ringan + promo waktuTime-based offer untuk isi sela; contoh: weekday family hours.
Review bilang “tempatnya biasa saja”Fasilitas (experience hygiene)Perbaiki dasar: toilet, pencahayaan, kursi, signage.
Banyak pengunjung baru, sedikit repeatFasilitas retensiTambah alasan kembali: playground, kids kit, loyalty card.
Fasilitas sudah kuat, awareness kurangPromo terukurSoft launch campaign, kolaborasi komunitas/sekolah.
Margin tergerus diskon berkepanjanganStop diskon generikGanti dengan bundling bernilai (paket keluarga, paket meeting).

Strategi Kombinasi: 30–60–90 Hari

30 Hari (Cepat & Murah)

  • Percantik hygiene factors: kebersihan toilet, lampu, tanda arah, area stroller.
  • Sediakan kids corner sederhana (rak buku, crayon, alas).
  • Setup format konten: dokumentasi keluarga yang real, bukan hard sell.
  • Promo ringan, waktu terbatas, tanpa perang harga.

60 Hari (Pengungkit Retensi)

  • Pasang playground modular skala kecil–menengah.
  • Buat paket keluarga & sarapan sunrise (cepat, kenyang, ramah anak).
  • Mulai program komunitas: arisan ibu, field trip sekolah kecil.

90 Hari (Skala & Kolaborasi)

  • Event berkala: lomba mewarnai, kelas hidroponik anak, mini gathering komunitas lokal.
  • Kemitraan wisata: bundling dengan tur VW, sunrise Borobudur.
  • Promosi diarahkan ke cerita fasilitas (bukan diskon), plus sistem referral.

Catatan Dari Lapangan: Kenapa Fasilitas Dulu

Saya sudah mencoba keduanya. Promo memang mengangkat grafik kunjungan, tapi cepat turun ketika iklan berhenti. Fasilitas yang tepat—playground, ruang meeting kecil, alur sarapan setelah sunrise—membuat orang punya rencana untuk kembali. Dan rencana itu yang membayar biaya listrik, gaji, dan cicilan dengan lebih tenang.

Kuncinya bukan “pilih fasilitas atau promo,” melainkan urutannya:

  1. Rapikan pengalaman (fasilitas),
  2. Lalu gunakan promosi sebagai pengeras suara untuk mengundang mencoba.

Ketika fasilitas bekerja, diskon tidak lagi jadi tongkat penopang—cukup aksen sesekali.


Jadi Mana Yang Penting ?

BSetelah pandemi, saya belajar bahwa tamu mencari bukan hanya rasa, tapi juga ketenangan dan kemudahan. Perjalanan saya buka kafe, sempat balik ke kantor demi cicilan, lalu fokus lagi membuat saya paham: orang datang bukan sekadar makan. Mereka butuh tempat anak bisa main, Wi-Fi rapi, toilet bersih, parkir jelas. Jadi arahnya sederhana: kuatkan fasilitas dulu, baru disuarakan dengan promo. Dengan begitu, setiap rupiah iklan mendorong orang mencoba pengalaman yang layak diceritakan ke teman.